Suatu pagi di Cape Race, di antara bangkai mesin dan alat penerima kristal Marconi yang sudah usang, saya bertemu dengan David Myrick, cucu-keponakan Jim, seorang operator radio maritim dan orang terakhir yang bekerja menangani alat komunikasi antik itu. David bercerita bahwa kakeknya baru mau bercerita tentang malam tenggelamnya Titanic setelah usianya sangat lanjut. Pada saat itu, daya pendengaran Jim sudah sangat lemah sehingga satu-satunya cara keluarga berkomunikasi dengannya hanyalah melalui sandi Morse—menggunakan pendeteksi asap untuk menghasilkan titik dan garis bersuara melengking. "Setia pada Marconi sampai akhir hayatnya," ujar David. "Dia berpikir dengan menggunakan sandi Morse—bahkan mimpi pun demikian."
Kami berjalan-jalan di luar di dekat mercusuar dan melayangkan pandangan ke laut dingin yang ombaknya memecah di tebing di bawah kami. Tampak sebuah kapal tanker minyak di kejauhan. Lebih jauh lagi, di Grand Banks, dilaporkan terbentuk lagi beberapa gunung es baru. Masih lebih jauh lagi, di suatu tempat di balik cakrawala, tergeletak bangkai kapal paling terkenal di dunia. Pikiran saya dipenuhi sinyal yang bermunculan di ionosfer—propagasi gelombang radio, teriakan masa lampau yang terbenam dalam waktu. Dan, saya membayangkan seakan-akan dapat mendengar suara Titanic: sebuah wahana yang menyandang kebanggaan dalam namanya, melesat dengan cerdas menuju dunia baru, namun kandas hanya oleh sesuatu yang lawas dan lamban—es.
0 Response to "Misteri Titanic (Bagian 7 - Habis)"
Post a Comment