Misteri Titanic (Bagian 6)

Setelah terlepas dari bagian buritan, haluan tenggelam dengan cepat ke dasar laut dengan sudut yang cukup tajam. Ketika meluncur semakin cepat saat jatuh, bagian-bagian kapal mulai berlepasan. Cerobongnya terlontar. Ruang kemudi pun hancur berantakan. Setelah lima menit menukik tajam, haluan itu terhunjam ke dalam lumpur dengan kekuatan sangat besar sehingga meninggalkan bekas pola riak lumpur yang hingga sekarang masih tampak jelas di dasar laut.

Buritannya, karena tidak memiliki ujung hidrodinamis seperti haluan, menukik bahkan dengan lebih cepat, berjungkir balik dan terpelintir saat jatuh. Bagian depan yang berukuran besar, yang sudah melemah oleh retakan di permukaan dan sudah seluruhnya berantakan, melontarkan isinya ke dasar laut. Kompartemen meledak. Dek demi dek runtuh tumpuk-menumpuk seperti lapisan telur dadar. Lempengan lambung kapal terkoyak-koyak. Dek di bagian atas terpelintir ke belakang. Bagian-bagian yang lebih berat seperti ketel langsung menghunjam, sementara bagian-bagian lain terlontar "seperti Frisbee." Sejauh "kira-kira empat kilometer," buritan itu terus meluncur ke bawah dengan ganasnya—pecah, penyok, meliuk, memadat, dan berangsur-angsur tercerai-berai. Pada saat menghantam dasar laut, bentuknya sudah tidak bisa dikenali lagi.

Sambil duduk kembali, Cameron memasukkan sepotong pisang yang sudah tidak keruan bentuknya itu ke dalam mulutnya, lalu memakannya. "Kita tidak ingin Titanic tercerai-berai seperti ini," katanya. "Kita ingin kondisinya utuh seperti bangkai kapal yang sempurna."

Saya terus bertanya dalam hati: apa yang terjadi pada orang-orang yang masih berada di atas kapal saat kapal tersebut tenggelam? Sebagian besar dari 1.496 korban ternyata tewas akibat hipotermia di permukaan laut, terapung-apung berpegangan pada pelampung. Namun, ratusan orang mungkin masih berada dalam keadaan hidup di dalam kapal, kebanyakan di antara mereka keluarga imigran di kelas murah, yang ingin meraih kehidupan baru di Amerika. Bagaimanakah nasib mereka tatkala mengalami tercerai-berainya kapal dan suara logam yang begitu memekakkan telinga? Apa yang mereka dengar dan rasakan? Bahkan setelah seratus tahun berlalu, sungguh memilukan membayangkannya.

St. John’s, Newfoundland, adalah salah satu tempat lain yang berkaitan dengan Titanic. Pada 18 Juni 1912, sebuah kapal penyelamat kembali ke St. John’s sambil membawa jenazah penumpang Titanic terakhir yang ditemukan. Selama berbulan-bulan, kursi dek, bagian panel kayu, dan benda relik lainnya tersapu ombak ke pantai Newfoundland.

Saya berencana ke lokasi reruntuhan dari St. John’s bersama International Ice Patrol, badan yang dibentuk setelah malapetaka tersebut untuk mengawasi gunung es yang berada di lintasan pelayaran kapal di Atlantik Utara. Ketika angin topan melanda dan menyebabkan semua penerbangan dibatalkan, saya mengunjungi sebuah bar di distrik George Street, dan di situ disuguhi vodka buatan lokal yang disuling dengan air gunung es. Agar semakin dramatis, bartender mencemplungkan kepingan inti es berbentuk segitiga yang dikerok dari gunung es ke dalam gelas saya. Konon kepingan itu berasal dari patahan gletser Greenland yang menghasilkan gunung es yang menenggelamkan Titanic. Es itu berdenting dan berdesis di dalam gelas saya—konon merupakan emisi dari atmosfer purba yang terperangkap di dalamnya.

0 Response to "Misteri Titanic (Bagian 6)"

Post a Comment